Kamis, 07 November 2013

Meja Telepon Ibu : Sebuah Saksi Perjalanan Meraih Mimpi Mahasiswi Teknik Nuklir UGM part 2

Assalamu'alaikum Wr.Wb Jika Meja Telepon Ibu part 1 udah aku share beberapa waktu yang lalu, kali ini aku akan share yang part 2. semoga kalian terinspirasi dan lebih semangat lagi meraih mimpi. selamat baca :)

Meja Telepon Ibu part 2
Siti Horiah

Saat-saat semua teman-temanku sibuk mencari tempat bimbel yang terbaik di kota kami, sebagai salah satu persiapan sebelum menghadapi SNMPTN, aku hanya bisa melihat kesibukan itu dari jauh. Bagi seorang Siti Horiah, jangankan mengikuti program bimbel, buku paduan SNMPTN saja tak punya. Aku tak pernah memiliki niat untuk membeli buku SNMPTN yang harganya selangit itu. Untuk makan adik-adiku saja, setiap subuh aku dan ibu masih harus keliling pasar untuk menjajakan kue cucur. Bagaimana aku mau menabung, uang jajan yang ibu berikan itu hanya sebesar tiga ribu rupiah saja. Itu pun hanya cukup untuk ongkos naik angkutan umum. Kalau kue kami tidak terjual satupun, itu berarti aku harus berjalan kaki sejauh 3 km untuk pergi ke sekolah. Aku tak sanggup meminta uang sepeserpun untuk membeli buku SNMPTN pada ayahku yang menjadi kuli di pasar. Apalagi berkata pada ayah kalau aku ingin kuliah ke Jogja. Sudahlah, kuliah adalah mimpi setinggi langit seorang siswa SMA kelas tiga seperti aku ini.
Itulah sebabnya aku menyembunyikan mimpi besar hidupku ini dari orang banyak. Bagiku mimpi ini hanya akan menjadi pisau kecil bagi keluarga kami. Mimpi yang akan menusuk dan mengiris perasaan kedua orang tuaku. Tak pernah sekalipun aku berniat untuk mengkhayal menduduki bangku kuliah. Aku takut kalau kedua orang tuaku tahu tentang mimpi ini, mereka pasti akan merasa kalau mereka bukan orang tua yang baik, orang tua yang tidak bisa membahagiakan anak-anaknya. Biarlah mimpiku yang ini hanya aku, meja kecil itu, dan Tuhan yang tahu.
Sahabatku Ana selalu ada untukku untuk memberikan support. Cita-citanya menjadi dokter membuat aku tersenyum miris sendiri. Aku selalu berpikir kenapa aku tidak seberani dirinya bermimpi dan bercita-cita. Namun aku sadar aku tidak seperti dirinya. Aku bukan anak siapa-siapa yang boleh bermimpi setinggi itu. Kalau kata adikku yang pertama, “MIMPI ITU MAHAL KAK!”. Buat bermimpi saja itu sulit apa lagi merealisasikannya pada kenyataan. Sesulit itukah bermimpi?, pikirku. Di mata adikku, mimpi saja dianalogikan dan disamakan dengan kata mahal. Kata-kata yang membuat keluarga miskin seperti kami gempar mendengarnya. Kata mahal itu bagi kami berarti mustahil dijangkau. Maklumlah, bagi keluarga miskin seperti kami, harga sebutir telur naik seratus rupiah pun sudah membuat kepala ayahku sakit.
Saat aku berkunjung ke rumah Ana, orang tuanya memberiku uang sebesar seratus ribu rupiah. Tanganku gemetar menerimanya. Orang tua Ana memberikan uang itu untuk aku gunakan sebagai ongkos pulang ke rumah, padahal ongkos yang aku gunakan hanya empat ribu rupiah. Aku putuskan sisa uang itu kubelikan sebuah buku SNMPTN bekas di pasar. Agar harganya tidak mahal dan aku dapat memberikan sisa uangnya pada ibuku. Aku sangat senang sekali saat itu. Aku berpikir, walaupun tak ada niat untuk kuliah, tapi apa salahnya kalau aku juga ikut menimba ilmu seperti teman-temanku.
“Kamu mau kuliah?” sahut ayahku di depan ibu dan adik-adiku.
Aku kaget bukan main terhadap pertanyaan itu. Aari mana ayah tahu mimpi yang aku sembunyikan dari dunia itu? Mimpi yang tidak pernah terucap oleh lidahku sendiri walau dalam doa di sholatku. Mimpi yang hanya ikut mengalir bersama air mata sebelum tidurku. Mimpi yang bahkan aku pun sendiri malu bercerita pada Tuhan. Ternyata ayah menyadari hal itu semua karena buku SNMPTN yang baru aku beli kemarin aku letakkan di atas meja kecil hitam itu. Ibuku yang hanya lulusan SD menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan ayah. Ibu marah mendengar hal itu. Ibu menyuruhku mengubur mimpi tersebut. Ibu takut kalau nantinya aku stress karena mimpiku yang ini tidak akan pernah terwujud. Aku tertunduk menangis. Adik-adiku iba melihat ke arahku. Ayah menenangkanku seraya tersenyum padaku. Ayah berkata padaku agar aku belajar yang baik dan mencari tempat kuliah yang aku inginkan. Ayah berkata kalau beliau akan berusaha mati-matian agar aku bisa kuliah. Aku tersenyum melihat ayah yang bijak berkata seperti itu. Entahlah. Aku sempat berpikir kalau ayah hanya ingin menenangkan diriku saja.
Suatu sore saat aku sedang menyapu halaman rumah, seorang ibu yang sebaya dengan ibuku menegurku.
“Kamu mau kuliah ya, Neng?” tegurnya sambil tertawa kecil.
Aku kaget dibuatnya. Ibu itu berkata kalau kemarin ibuku bercerita pada dirinya bahwa aku merengek meminta meneruskan sekolah. Ibu itu menasihati diriku. Dia berkata padaku bahwa sebagai orang susah jangan ‘kebanyakan tingkah’. Aku sebagi anak pertama jangan menyusahkan kedua orangtua dengan merengek-rengek minta kuliah.
“Kuliah itu mahal,” katanya. “Upah ayahmu itu tidak cukup untuk makan dua kali sehari, apalagi untuk biaya kuliah. Kasihan adikmu ada banyak. Mau makan apa mereka nanti?”.
Hatiku bergetar. Ingin rasanya aku membentaknya. Namun, aku hanya mampu membalas perkataannya dengan senyum termanis yang aku miliki.
Keesokan harinya ibuku bercerita, kalau teman-teman ayahku di pasar itu mengolok-olok ayahku, karena ayahku bercerita pada mereka kalau aku ingin kuliah. Mereka berkata pada ayahku kalau tidak akan ada universitas yang mau menerima orang miskin seperti aku ini.
Aku berlari menuju meja kecil hitam di ruang tamuku. Aku buka buku catatanku yang pernah kutulisi tulisan grafiti nama sebuah universitas impianku. Kurobek dan kulempar bukunya. Aku marah sekali saat itu. Karena orang yang paling aku sayang itu dihina oleh orang lain, dicaci maki. Aku tersadar kalau itu semua karena mimpi ‘konyolku’ berkuliah. Itulah sebabnya selama ini aku malu dan memutuskan untuk menguburkan niat dan impianku berkuliah sedalam-dalamnya. Sudah kukira akan berakhir dengan penghinaan atas kedua orangtuaku seperti ini. Aku kesal, orang tuaku dihina seperti itu. Aku malu karena itu semua adalah ulah dari mimpi tidur indahku.
Keesokan harinya, di sekolah teman-temanku bersorak dan memanggilku.
“Selamat yah Siti, kamu masuk daftar undangan SNMPTN, tuh!” ucap Lidia
Jantungku bergetar. Aku tak percaya kalau namaku bisa masuk dalam jajaran murid-murid pintar yang bisa mengikuti SNMPTN undangan. Aku pun girang bukan main. Aku hampiri guru bimbingan konselingku. Aku menceritakan masalah keluargaku selama ini. Awalnya aku tak mau bercerita, tetapi terpaksa aku lakukan karena mimpiku berkuliah, saat ini sudah ada di depan pelupuk mata. Maka aku pun memutuskan untuk menceritakan semuanya agar aku mendapatkan jalan keluar yang terbaik.
Guruku itu langsung memeluk tubuhku sampai kaku. Dia ternyata memiliki impian besar terhadap diriku. Dia mencarikan solusi untuk masalahku ini dengan menawarkan beasiswa BIDIK MISI. Tanpa berpikir panjang aku menyetuji ajakannya. Aku pulang ke rumah dan menyiapkan berkas-berkas yang ada. Saat itu aku merasa bersyukur sekali karena impianku yang kurasa buruk itu, akan segera terwujud. Aku sengaja tidak memberitahu informasi ini pada kedua orangtuaku. Aku ingin membuat semua ini menjadi kejutan bagi mereka.
Segala macam persyaratan pendaftaran SNMPTN itu pun telah dipenuhi. Aku memutuskan untuk memilih UNIVERSITAS GADJAH MADA dan prodi TEKNIK NUKLIR pada pilihan pertama. Entahlah. Itu semata karena bermodal menyukai kimia dan fisika. Maka aku putuskan untuk memilih program studi ini. Besar harapanku untuk diterima.
Setelah semuanya selesai , baru kuberitahu ayah dan ibu. Mereka sangat senang. Dengan beasiswa Bidik Misi ini mereka berdua tidak perlu mengeluarkan uang sampai aku lulus nanti. Kedua orang tuaku pun senang dengan pilihan program studi yang aku pilih itu. Semuanya tinggal aku pasrahkan pada Tuhan. Kalau memang rezeki dariNya, aku pasti akan mendaptkannya. Pesan ayah padaku yang selalu kuingat. Aku senang dan aku ingin membuktikan pada semua orang yang telah menghina mimpiku. Aku ingin membuktikan kalau impianku itu akan segera terwujud.
Dua bulan lamanya aku menunggu pengumuman. Selama itu aku mempersiapkan diriku untuk bisa mengikuti SNMPTN tertulis. Aku belajar sedikit demi sedikit dari buku soal-soal SNMPTN yang aku miliki. Semangatku berkuliah setiap harinya semakin kencang. Di tengah-tengah semangatku ini, masih saja ada tetangga yang mengolok-olok mimpiku. Ada tetangga yang berkata sinis pada ibuku seperti ini.
“Hati-hati, Bu, itu anaknya bukan mau kuliah tapi mau jual diri.”
Ingin rasanya aku menampar orang yang berbicara seperti itu pada ibuku, tapi ibuku menyadarkanku kalau ucapan mereka adalah batu loncatan bagi prestasiku. Aku harus tetap rajin belajar dan membuktikan pada dunia bahwa mimpiku itu akan mengubah dunia menjadi lebih baik.
Semua hinaan, caci maki tetangga, sampai saudara-saudara terdekat kami kemarin, terhadap mimpi besarku itu, kini lenyap sudah. Air mata kedua orang tuaku kini warnanya berubah sebening permata. Keringatnya yang bercucuran itu menjadi keringat kebanggaan mereka terhadapku. Senyum simpul guru-guruku mengguratkan harapan besar padaku.
Ya, aku diterima di Universitas kerakyatan yang menjadi kebanggaan negara ini!. Universitas bergengsi dan nomor satu serta terbaik di negri ini. Universitas Gadjah Mada namanya. Di sana namaku tertera sebagai mahasiswa baru jurusan Teknik Nuklir. Program studi sarjana nuklir satu-satunya di ASEAN dan memiliki lulusan terbaik se-Asia.
Aku tak bisa berkata apa-apa melihat kebahagiaan kedua orang tuaku. Melihat satu mimpiku yang kini menjadi nyata. Mimpi yang selama ini tak pernah berani aku ungkapkan pada dunia. Mimpi yang tak seharusnya aku tutupi dari orang lain. Sekarang aku sadar kalau semua itu memang berasal dari mimpi. Mimpi yang bukan hanya sekedar mimpi. Mimpi yang harus segera diwujudkan, bukan dibiarkan tetap tidur bersama angan-angan semata. Aku pun tersadar sekarang, kalau tak ada satupun hal yang mustahil dalam hidup ini. Aku masih memiliki Allah. Tuhanku yang tak pernah tidur, yang selalu mau mendengarkan mimpi makhluknya yang kecil ini.

Aku tak akan menyia-nyiakan amanat besarmu ini, Tuhan. Aku pun kini bisa tersenyum mengingat semua pengorbananku dan kedua orangtuaku demi mimpi manis ini.

Terimakasih untuk meja kecilku yang telah setia menemaniku merogoh mimpi ini.
Terimakasih Tuhan, Engkau telah mengijinkanku merajut asa ini untuk meraih impian.

Kini, aku bisa merangkai mimpiku yang lain untuk ikut mengubah dunia menjadi lebih baik. Bersama orang tua yang tangguh, para pendidik yang tulus, dan Tuhan yang selalu Penuh Kasih, aku yakin tak ada yang mustahil untuk meraih masa depanku yang gemilang.


Terimakasih sudah baca. sangat inspiratif ya :) jujur ini salah satu motivasi aku dalam meraih masa depan ku. semoga kalian juga.
 source :
http://tf.ugm.ac.id/index.php/14-prestasi/112-mahasiswa-teknik-fisika-ft-ugm-memenangi-lomba-menulis-kisah-inspiratif-kamakarya-2013
 
Wassalamu'alaikum Wr. Wb ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar