Assalamu'alaikum Wr.Wb
Selamat membaca :)
Meja
Telepon Ibu part 1
Siti Horiah
Mahasiswa Program Studi Teknik Nuklir 2012
Mahasiswa Program Studi Teknik Nuklir 2012
Disudut ruang tamu kami, yang luasnya
tidak lebih dari 4m2 itu terletak sebuah meja kecil berwarna hitam. Meja itu
adalah sebuah meja telepon rumah yang sudah beralih fungsi sebagai meja
belajarku. Meja itu adalah satu-satunya meja yang ada di rumah kami, meja yang
sampai saat ini masih dibiarkan ibuku tetap berdiri tegak dan masih tetap
berada dirumah kami dengan sebuah alasan yang tak aku ketahui.
Beginilah kondisi rumah kami setelah
peristiwa kebangkrutan usaha ayahku. Demi menyambung nyawa keluarga kami, ibu
rela menjual barang-barang berharga yanga ada di rumah kami pada tetangga
sekitar. Ibuku tidak tahu lagi harus berbuat apa, dan tidak tahu lagi bagaimana
caranya mendapatkan uang untuk membeli beras. Beliau menjual satu persatu
barang-barang berharga kami, setiap kali datang waktu makan. Mulai dari
beberapa pakaian ibuku yang paling beliau suka, alat-alat dapur seperti gelas,
piring, panci, dispenser, bahkan sendok dan garpu pun ikut habis terjual.
Ayahku tidak dapat berbuat banyak
setelah peristiwa kebangkrutan usahanya. Beliau hanya mampu menjadi kuli
dipasar tradisional di kota kami. Upah yang dia terima tidak mampu menutupi
kebutuhan keluarga besar kami.
***
Suatu siang, aku melihat adikku Rafi
menangis sambil menghampiri ibu yang sedang duduk lemas menonton tv tanpa
antena itu. Aku memperhatikan gerak-gerik ibu yang kepanikan, beliau tidak
ingin membiarkan Rafi adikku menangis terlalu lama.
“ibu, ibu aku lapar!” jerit
Rafi.
Ibu yang tak bisa berkata apa-apa
langsung pergi menuju dapur, mengambil beberapa piring. Aku pun terus
memperhatikan gerak-gerik ibu. Aku heran apa yang akan ibu lakukan dengan
kelima buah piring itu. Sempat aku berpikir kalau ibu akan mengambilkan nasi
untuk Rafi, namun aku teringat kalau dari kemarin aku belum memasak nasi untuk
keluarga kami. Dengan masih tetap memperhatikannya dari balik pintu, aku
melihat air mata ibuku jatuh berlinang membasahi pipinya yang pucat, namun
dengan cepat beliau langsung menghapusnya takut-takut kalau air matanya akan
terlihat olehku. Aku pura-pura tidak sadar dengan apa yang ibu lakukan didapur,
aku menyibukan diriku dengan menggendong dan menimang Rafi agar dia tidak
menangis.
Kubiarkan ibu dengan kesibukannya,
kulihat beliau keluar rumah dengan kelima piringnya itu. Tak beberapa lama
kemudian beliau kembali dengan uang ribuan yang lusuh sebanyak lima lembar. Aku
terheran-heran atas apa yang ibu lakukan. Ibu langsung menyuruhku pergi
kewarung membeli setengah liter beras, dan satu butir telur. Tanpa berpikir
panjang aku pun langsung pergi menuruti perintah ibu.
Aku kembali dengan apa yang ibu minta
dan ibu langsung menyuruhku memasaknya. Ibu menyuruhku membuat telur dadar
dengan mencampurkan telur itu dengan terigu, agar satu telur itu menjadi besar
dan cukup untuk dimakan oleh kami bersembilan. Aku menarik napas dalam-dalam,
air mataku pun tak kuat dibendung, menetes jatuh. Aku tak kuat menahan ini
semua, bagaimana tidak, setiap harinya kami hanya makan satu kali sehari.
Berbagi setengah liter nasi untuk sembilan orang, satu butir telur saja harus
dibagi sembilan, sering kamipun membagi 2 bungkus mie instans untuk sembilan
orang. Terkadang ayah memilih pergi dari rumah saat tiba waktu makan, beliau
pergi sambil menitip pesan padaku agar jatah makanannya diberikan pada
adik-adikku saja.
Ibu sangat sayang pada kami, beliau
tidak pernah membagi penderitaanya pada kami semua. Selagi ayah menjadi kuli
dipasar, ibu selalu menggantikan peran ayah. Ibu tak pernah terlihat sedih
dengan penderitaanya. Ibu rela berkorban demi kami semua. Ibu rela menjual
tempat tidurnya dan memilih tidur dilantai dengan beralaskan kasur yang tipis
saja.
Hampir seluruh barang berharga dirumah
kami terpaksa beliau jual, demi menutupi pendapatan ayah yang besarnya tak
kurang dari sepuluh ribu rupiah. Hanya satu buah meja telepon yang ibu sisakan
diruang tamu kami. Aku heran kenapa ibu tidak pernah mau menjual meja tersebut,
beliau lebih memilih menjual beberapa pakaiannya ketimbang menjual meja
tersebut. Sampai pada saatnya aku tak sanggup melihat pakaian terbaik ibu harus
ikut terjual, akupun menawarkan meja telepon itu untuk dijual pada ibu. Namun
ibu menolak dengan kata-kata yang membuatku menangis sendiri.
“Selapar apapun kita nanti, ibu tidak
akan menjual tempat yang kau gunakan untuk mengantungkan cita-citamu itu nak,
pakailah terus meja itu.” Ungkapnya sambil
pergi kerumah tetangga untuk menjual baju terbaiknya selama ini, demi sepiring
nasi untuk keenam adikku.
Aku lemas mendengarnya, jadi selama ini
ibu tidak mau menjualnya hanya karena aku sering memakai meja yang panjangnya
tidak lebih dari 30 cm itu untuk belajar. Aku tersadar selama ini aku memang
selalu menggunakan meja itu untuk belajar karena itu adalah satu-satunya meja
yang ada dirumah kami.
Itulah kondisi yang selama ini aku
alami, tak ada yang bisa aku lakukan banyak ketika itu. Saat itu kondisinya aku
sedang duduk dikelas tiga. Ditengah kondisi seperti ini aku harus tetap
berjuang untuk bisa lulus SMA. Setiap malam aku bangun untuk belajar dan
mengerjakan tugas, aku menggunakan meja telepon itu sebagai alasku belajar.
Terbayang betapa menderitanya belajar di atas meja yang luasnya lebih kecil
dari luas buku tulisku. Namun tidak ada pilihan lain bagiku, aku tak mampu
menunduk lama untuk belajar bila memilih belajar diatas lantai yang dingin.
Meja itu adalah teman terbaik bagiku. Dia selalu menemaniku dimalam hari disaat
semua orang terlelap, aku harus bangun untuk belajar. Semua itu aku lakukan
karena aku tidak memiliki waktu disiang hari untuk belajar.
Benar kata ibuku meja itu adalah tempat
aku menggantungkan semua cita-citaku. Tempat aku memulai perubahan pada hidup
keluargaku. Ibuku berharap besar padaku, karena aku adalah anak pertama. Jadi
setelah aku lulus SMA nanti aku bisa langsung bekerja, dan ibu optimis terhadap
diriku kalau aku nanti akan mendapatkan pekerjaan yang layak. Karena ibu tahu
aku termasuk murid yang berprestasi disekolah.
Tanpa disadari aku memang menyayangi
meja kecil hitam itu, meja itu selalu aku bersihkan setiap harinya, walaupun
meja itu kecil dan sempit tapi aku masih bersyukur bisa tetap menulis diatas
meja. Meja itu adalah satu-satunya tempat aku berbagi rahasia, tempat aku
mengukir sebuah mimpi. Hanya meja itu yang menjadi saksi kalau aku memiliki
sebuah mimpi yang selama ini aku rahasiakan dari dunia.
Aku punya sebuah mimpi yang benar-benar
tidak bisa aku ungkapkan pada siapapun. Aku takut kalau mimpiku yang satu ini
kuberitahu pada orang tuaku itu akan menjadi beban padanya, kalau aku beritahu
pada teman-teman atau orang banyak aku takut mimpiku yang ini akan ditertawakan
mereka. Jadi selama ini hanya meja kecil ini yang bersaksi kalau aku sering
mengukir sebuah nama Universitas yang aku impikan pada catatan sekolahku. Ya,
mimpiku yang tidak dapat aku beritahukan kepada siapa pun termasuk orang tuaku
sendiri adalah duduk di bangku KULIAH.
Sebenarnya setiap kali orang tuaku
membahas tentang pekerjaan yang nantinya aku lakoni setelah lulus SMA, hati
kecilku menangis merintih tak terdengar siapapun.
“ayah, mama, aku gak mau kerja aku mau
kuliah kaya temen-temen, aku mau masuk UGM aku mau ke Jogja, aku gak bisa
KERJA!” jerit hati kecil ini.
sumber:
http://tf.ugm.ac.id/index.php/14-prestasi/112-mahasiswa-teknik-fisika-ft-ugm-memenangi-lomba-menulis-kisah-inspiratif-kamakarya-2013
http://www.sccfugm.com/2013/04/meja-telepon-ibu-sebuah-saksi.html
Suatu cerpen yang sangat menginspirasi kita, terutama yang ingin mengambil jalur bidik misi dan ini adalah cerpen yang dibuat oleh anak teknik yang notabene tidak diajari sastra dalam bidang studinya, jadi SASTRA MILIK SEMUA ORANG :)
Semoga kita bisa lebih bersemangat lagi dalam menggapai cita-cita dan semoga bermanfaat. Selamat membaca kelanjutannya. Terimakasih.
Semoga kita bisa lebih bersemangat lagi dalam menggapai cita-cita dan semoga bermanfaat. Selamat membaca kelanjutannya. Terimakasih.
Maaf ya copas lagi hahaa :D
Wassalamu'alaikum wr.wb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar