Tulisan ini bukan untuk
memprovokasi teman-teman, bukan juga untuk menyalahkan pemerintah, guru ataupun
murid. Tulisan ini saya buat pure sebagai
sarana kita dalam bertukar pikiran mengenai sistem pendidikan yang sedang
berjalan di negeri kita. Saya berharap kita semua mampu membuka mata dan
pikiran kita lebar-lebar untuk memikirkan “apakah
benar sekolah formal telah memenjarakan kita?”
------------------------------------------------------------------
Bulan Januari merupakan bulan
idaman semua mahasiswa, khususnya mahasiswa rantauan. Pada bulan itulah,
mahasiswa akan menikmati masa liburan panjang yang selama masa kuliah baru akan
dirasakan. Saya adalah salah seorang mahasiswa rantauan yang sangat senang
ketika mendengar kata “liburan”, karena di saat itulah saya bisa bertukar
pikiran dan menyusun mimpi-mimpi baru, bersama guru les saya semasa saya duduk
di bangku SMA. Beliau adalah sosok yang berhasil mengubah paradigma saya
menjadi anti-mainstream (anti dengan
hal yang biasa). Arti kata “anti” di sini tentu saja tidak berorientasi pada
sesuatu yang negatif, namun lebih membuka pikiran selebar-lebarnya untuk lebih
peka dan tanggap dengan keadaan di sekitar kita. Sosok wanita yang memiliki
perawakan kurus itu kerap menjadi teman diskusiku dan teman-teman terkait
segala sesuatu yang terjadi di kehidupan.
Pernahkah kalian merasa bosan
dan jenuh untuk bersekolah? Saya yakin, hampir setiap orang pernah
merasakannya. Entah hal itu disebabkan oleh rasa lelah ataupun merasa bosan
dengan penjelasan salah seorang guru. Saya sendiri juga pernah merasakan titik
jenuh untuk pergi ke sekolah dan belajar apa yang tidak ingin saya pelajari.
Memang terdengar frontal, karena sama sekali tidak masalah jika kita mempelajari
apa yang tidak kita suka. Bisa jadi hal itu jadi sebuah petunjuk yang hendak
Tuhan sampaikan kepada kita. Atau mungkin memang itulah jalan yang telah Tuhan
rencanakan untuk kita.
Sewaktu SMA, saya sering tidak
masuk kelas, malah hampir sangat sering. Kurang lebih 15-an lomba dan event
saya ikuti sejak saya kelas X semester 2. Awalnya saya sangat giat belajar di
kelas hingga memperoleh predikat ranking 1 saat saya duduk di kelas X semester
pertama. Namun, disaat guru PKn menghampiri saya dan menawarkan Lomba Cerdas
Cermat (LCC) 4 Pilar Kebangsaan, paradigma saya mulai berubah. Saya lebih suka
untuk mewakili sekolah dalam acara lomba atau event daripada harus belajar
terus di dalam kelas. Bahkan, saya sering meminta waktu seminggu full bimbingan
agar terbebas dari yang namanya sekolah, haha. Meskipun, memang di akhir
semester sangat terlunta-lunta untuk menyusul ulangan dan tugas kesana-kemari. Namun,
saya tetap tidak merasa rugi. Saya pikir, pengetahuan yang saya dapatkan di
dalam kelas tidak sebanding dengan apa yang ada di luar sana. Ternyata, masih
banyak hal yang perlu saya pelajari dari orang lain. Sempat saya merasa minder
dan gerogi untuk bergaul dan bercakap-cakap dengan siswa dari daerah lain.
Jangan pernah merasa dirimu hebat, sebelum kamu keluar dan melihat apa yang
sebenarnya terjadi di luar sana!
Pada saat berdiskusi dengan
guru les saya, saya bertanya kepadanya “Sebenarnya apa yang perlu diperbaiki
dari Indonesia? Kenapa hampir semua sektor kehidupan memiliki masalah
masing-masing. Banyak anak-anak yang putus sekolah, banyak pengangguran,
jalan-jalan rusak, banjir, tanah longsor, pejabat negara yang korup, degradasi
moral pemuda, sikap apatis orang-orang dan masih banyak lagi”. Guru lesku
dengan singkat menjawab, “pendidikan”. Banyak sekali orang-orang yang
terpenjara dengan pendidikan, lebih tepatnya terpenjara oleh sekolah formal.
Sekolah formal hanya membentuk produk gagal yang akhirnya gagal juga dalam membentuk
keteraturan lingkungan. Apakah kita rela jika sekolah kita yang berfungsi sebagai
tempat menimba ilmu pengetahuan dan guru-guru kesayangan kita yang selalu
meluangkan waktunya untuk kita malah membentuk produk gagal seperti kita? Saya
menyebut kita adalah produk gagal!.
Seringkali kita mempelajari apa
yang tidak menjadi bakat dan minat kita. Contohnya kelas IPA yang harus rela
berumit-rumit dengan fisika, padahal ada beberapa orang yang masuk IPA karena
minat dengan biologi, bukan fisika. Lantas bagaimana ini? Seseorang tersebut
tentu harus belajar pelajaran yang tidak dia sukai dengan sungguh-sungguh agar
lulus dari standar nilai yang ditentukan. Ya memang kita tidak dapat
menyalahkan siapapun dalam kasus ini. Tulisan ini hanya sebagai pembuka wawasan
saja, bahwa kita sebenarnya perlu menyusun kurikulum baru dalam sekolah.
Tujuan penetapan Kriteria
Kelulusan Minimum (KKM) sebenarnya memang baik jika dicapai dengan cara yang
baik juga. Namun, kenyataannya KKM malah menjadi momok para siswa yang akhirnya menghalalkan segala cara, bahkan
dengan cara yang tidak jujur. Siswa rela menyontek dan mencari perhatian guru
(dengan berpura-pura aktif di kelas) agar mendapat nilai yang melebihi KKM. Nilai
seolah-olah menjadi tujuan utama siswa-siswa sekolah. Mereka beranggapan bahwa
nilai adalah jalan bagi mereka untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Padahal hakikat belajar
bukanlah sekadar mendapat hal-hal tersebut.
Sekolah yang baik adalah sekolah yang mengarahkan siswa-siswanya untuk mengenali
jati dirinya masing-masing, mencari dimana letak potensi diri mereka dan
berusaha untuk mendampingi mereka dalam mengembangkannya. Bukan dipaksa untuk
mempelajari jenis-jenis pelajaran yang tidak sesuai dengan bakat dan minat
dengan embel-embel KKM, yang akhirnya
hanya akan melahirkan produk gagal. Bahkan sekolah seakan-akan
hanya berorientasi pada pencarian uang dan jabatan. Memang hal tersebut
tidaklah mudah, perlu adanya penggabungan kekuatan dari beberapa pihak yang
berhubungan, seperti pemerintah, guru, siswa dan juga orang tua.
Banyak teman-teman saya yang
menentang pemikiran saya ini yang seakan-akan hanya berani berkomentar saja dan
terlalu sok dengan merendahkan guru
dan sekolah. Saya sama sekali tidak menyalahkan siapapun, saya bahkan bisa jadi
seperti sekarang ini berkat jasa guru-guru saya dari SD sampai SMA. Namun, apakah
kita tetap akan menjalankan dan terpaksa
terlibat menjadi objek atas sistem yang salah? Bayangkan, di Jepang anak-anak
TK sudah dituntun untuk merancang masa depan mereka dengan membuat mind-mapping. Di Korea, ada salah satu
sekolah yang menerapkan sistem ujian gelap gulita. Kenapa? Karena pihak sekolah
tidak ingin produk-produk keluarannya menjadi produk gagal. Mereka memasangkan
lampu senter di kepala masing-masing siswa, sehingga jika ada siswa yang
melakukan kegiatan mencontek, pasti akan ketahuan. Lantas, kenapa kita tidak
bisa seperti itu? Apakah kita baru bisa seperti itu jika sistem menuntut?
Kenapa Ujian Nasional malah menjadi Pesta Ketidakjujuran yang tampak seperti
dilegalkan? Kenapa harus ada predikat pintar dan bodoh dalam kelas yang hanya
akan membuat minder siswa-siswa?
Katanya sih untuk memotivasi, namun
apakah benar seperti itu? Bisa jadi, mereka yang berada di peringkat akhir
(yang sering dianggap bodoh) memiliki salah satu bakat yang sangat mengejutkan,
merakit komputer atau merakit pesawat terbang seperti pak Habibie. Katanya
orang-orang, nilai itu juga untuk penghargaan atas kerja keras siswa selama
pembelajaran. Apakah kita belajar hanya untuk dapat pengakuan baik atau buruk?
Kita dapat membuat sekolah yang
pure keinginan para siswa, bukan
sebuah paksaan. Sehingga, produk yang lahir pun tidak akan menjadi produk gagal
yang hanya berorientasi pada uang, bukan pengabdian. Seseorang yang menyukai dan
memiliki bakat dalam bermusik, ya sudah dia harus dan wajib untuk masuk kelas
musik. Seseorang yang memiliki bakat menggambar, ya ayo masuk kelas menggambar.
Yang bakat hitung-hitungan, sok atuh
masuk kelas matematika atau fisika. Kan enak kan? Semua belajar pelajaran yang
sesuai dengan potensi mereka. Dan nilai yang diberikan pun sesuai dengan
kualitas siswa-siswanya. Siswa yang masuk kelas musik pasti akan mendapat
julukan “anak musik”, anak kelas menggambar mendapat julukan “anak
gambar/pelukis”, anak kelas fisika mendapat julukan “anak fisika/fisikawan”.
Kualitas yang dihasilkan pun tidak hanya sekadar abal-abal dari hasil dongkrakan nilai yang berkedok “remidial test”.
Kalau tidak kita yang memulai
merencanakan dan membuat sekolah model begitu, lantas siapa lagi? Masih ngerasa nggak terima dan menganggap saya
hanyalah orang yang sok kritis dan
cari sensasi? *Think Again*. Cepat atau lambat, kita semua akan merasakannya
dan akan lantang menyuarakan “Tolong Aku, Aku dipenjara oleh Sekolah!”
Cari tahulah apa bakat dan minat kita sekarang dan fokuslah ke bidang itu!
Semangat kawan-kawan! Nilai, Ijazah, Peringkat, Predikat itu hanyalah
embel-embel belaka yang dapat hilang sewaktu-waktu. Namun, kualitas yang
sebenarnya akan terus melekat dalam diri orang yang memilikinya.
Salah satu sekolah yang seperti cocok dan pantas adalah model sekolah yang seperti ini:
Qaryah Thayyibah 1/2
Qaryah Thayyibah 2/2
Salah satu sekolah yang seperti cocok dan pantas adalah model sekolah yang seperti ini:
Qaryah Thayyibah 1/2
Qaryah Thayyibah 2/2
untuk tulisan inspasi lainnya silakan kunjungi http://inspiring-aoc.blogspot.com/
terimakasih ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar