Sabtu, 08 Februari 2014

Tolong Aku, Aku Terpenjara dalam Sekolah!

Ada tulisan yang menginspirasi nih dari http://inspiring-aoc.blogspot.com/2014/02/tolong-aku-aku-terpenjara-oleh-sekolah.html?showComment=1391925461832#c193071546263520707 :) selamat membaca..
 
 
Tulisan ini bukan untuk memprovokasi teman-teman, bukan juga untuk menyalahkan pemerintah, guru ataupun murid. Tulisan ini saya buat pure sebagai sarana kita dalam bertukar pikiran mengenai sistem pendidikan yang sedang berjalan di negeri kita. Saya berharap kita semua mampu membuka mata dan pikiran kita lebar-lebar untuk memikirkan “apakah benar sekolah formal telah memenjarakan kita?”
------------------------------------------------------------------
Bulan Januari merupakan bulan idaman semua mahasiswa, khususnya mahasiswa rantauan. Pada bulan itulah, mahasiswa akan menikmati masa liburan panjang yang selama masa kuliah baru akan dirasakan. Saya adalah salah seorang mahasiswa rantauan yang sangat senang ketika mendengar kata “liburan”, karena di saat itulah saya bisa bertukar pikiran dan menyusun mimpi-mimpi baru, bersama guru les saya semasa saya duduk di bangku SMA. Beliau adalah sosok yang berhasil mengubah paradigma saya menjadi anti-mainstream (anti dengan hal yang biasa). Arti kata “anti” di sini tentu saja tidak berorientasi pada sesuatu yang negatif, namun lebih membuka pikiran selebar-lebarnya untuk lebih peka dan tanggap dengan keadaan di sekitar kita. Sosok wanita yang memiliki perawakan kurus itu kerap menjadi teman diskusiku dan teman-teman terkait segala sesuatu yang terjadi di kehidupan.
Pernahkah kalian merasa bosan dan jenuh untuk bersekolah? Saya yakin, hampir setiap orang pernah merasakannya. Entah hal itu disebabkan oleh rasa lelah ataupun merasa bosan dengan penjelasan salah seorang guru. Saya sendiri juga pernah merasakan titik jenuh untuk pergi ke sekolah dan belajar apa yang tidak ingin saya pelajari. Memang terdengar frontal, karena sama sekali tidak masalah jika kita mempelajari apa yang tidak kita suka. Bisa jadi hal itu jadi sebuah petunjuk yang hendak Tuhan sampaikan kepada kita. Atau mungkin memang itulah jalan yang telah Tuhan rencanakan untuk kita.
Sewaktu SMA, saya sering tidak masuk kelas, malah hampir sangat sering. Kurang lebih 15-an lomba dan event saya ikuti sejak saya kelas X semester 2. Awalnya saya sangat giat belajar di kelas hingga memperoleh predikat ranking 1 saat saya duduk di kelas X semester pertama. Namun, disaat guru PKn menghampiri saya dan menawarkan Lomba Cerdas Cermat (LCC) 4 Pilar Kebangsaan, paradigma saya mulai berubah. Saya lebih suka untuk mewakili sekolah dalam acara lomba atau event daripada harus belajar terus di dalam kelas. Bahkan, saya sering meminta waktu seminggu full bimbingan agar terbebas dari yang namanya sekolah, haha. Meskipun, memang di akhir semester sangat terlunta-lunta untuk menyusul ulangan dan tugas kesana-kemari. Namun, saya tetap tidak merasa rugi. Saya pikir, pengetahuan yang saya dapatkan di dalam kelas tidak sebanding dengan apa yang ada di luar sana. Ternyata, masih banyak hal yang perlu saya pelajari dari orang lain. Sempat saya merasa minder dan gerogi untuk bergaul dan bercakap-cakap dengan siswa dari daerah lain.
Jangan pernah merasa dirimu hebat, sebelum kamu keluar dan melihat apa yang sebenarnya terjadi di luar sana!
Pada saat berdiskusi dengan guru les saya, saya bertanya kepadanya “Sebenarnya apa yang perlu diperbaiki dari Indonesia? Kenapa hampir semua sektor kehidupan memiliki masalah masing-masing. Banyak anak-anak yang putus sekolah, banyak pengangguran, jalan-jalan rusak, banjir, tanah longsor, pejabat negara yang korup, degradasi moral pemuda, sikap apatis orang-orang dan masih banyak lagi”. Guru lesku dengan singkat menjawab, “pendidikan”. Banyak sekali orang-orang yang terpenjara dengan pendidikan, lebih tepatnya terpenjara oleh sekolah formal. Sekolah formal hanya membentuk produk gagal yang akhirnya gagal juga dalam membentuk keteraturan lingkungan. Apakah kita rela jika sekolah kita yang berfungsi sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan dan guru-guru kesayangan kita yang selalu meluangkan waktunya untuk kita malah membentuk produk gagal seperti kita? Saya menyebut kita adalah produk gagal!.
Seringkali kita mempelajari apa yang tidak menjadi bakat dan minat kita. Contohnya kelas IPA yang harus rela berumit-rumit dengan fisika, padahal ada beberapa orang yang masuk IPA karena minat dengan biologi, bukan fisika. Lantas bagaimana ini? Seseorang tersebut tentu harus belajar pelajaran yang tidak dia sukai dengan sungguh-sungguh agar lulus dari standar nilai yang ditentukan. Ya memang kita tidak dapat menyalahkan siapapun dalam kasus ini. Tulisan ini hanya sebagai pembuka wawasan saja, bahwa kita sebenarnya perlu menyusun kurikulum baru dalam sekolah.
Tujuan penetapan Kriteria Kelulusan Minimum (KKM) sebenarnya memang baik jika dicapai dengan cara yang baik juga. Namun, kenyataannya KKM malah menjadi momok para siswa yang akhirnya menghalalkan segala cara, bahkan dengan cara yang tidak jujur. Siswa rela menyontek dan mencari perhatian guru (dengan berpura-pura aktif di kelas) agar mendapat nilai yang melebihi KKM. Nilai seolah-olah menjadi tujuan utama siswa-siswa sekolah. Mereka beranggapan bahwa nilai adalah jalan bagi mereka untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Padahal hakikat belajar bukanlah sekadar mendapat hal-hal tersebut.
Sekolah yang baik adalah sekolah yang mengarahkan siswa-siswanya untuk mengenali jati dirinya masing-masing, mencari dimana letak potensi diri mereka dan berusaha untuk mendampingi mereka dalam mengembangkannya. Bukan dipaksa untuk mempelajari jenis-jenis pelajaran yang tidak sesuai dengan bakat dan minat dengan embel-embel KKM, yang akhirnya hanya akan melahirkan produk gagal. Bahkan sekolah seakan-akan hanya berorientasi pada pencarian uang dan jabatan. Memang hal tersebut tidaklah mudah, perlu adanya penggabungan kekuatan dari beberapa pihak yang berhubungan, seperti pemerintah, guru, siswa dan juga orang tua.
Banyak teman-teman saya yang menentang pemikiran saya ini yang seakan-akan hanya berani berkomentar saja dan terlalu sok dengan merendahkan guru dan sekolah. Saya sama sekali tidak menyalahkan siapapun, saya bahkan bisa jadi seperti sekarang ini berkat jasa guru-guru saya dari SD sampai SMA. Namun, apakah kita tetap akan menjalankan dan terpaksa terlibat menjadi objek atas sistem yang salah? Bayangkan, di Jepang anak-anak TK sudah dituntun untuk merancang masa depan mereka dengan membuat mind-mapping. Di Korea, ada salah satu sekolah yang menerapkan sistem ujian gelap gulita. Kenapa? Karena pihak sekolah tidak ingin produk-produk keluarannya menjadi produk gagal. Mereka memasangkan lampu senter di kepala masing-masing siswa, sehingga jika ada siswa yang melakukan kegiatan mencontek, pasti akan ketahuan. Lantas, kenapa kita tidak bisa seperti itu? Apakah kita baru bisa seperti itu jika sistem menuntut? Kenapa Ujian Nasional malah menjadi Pesta Ketidakjujuran yang tampak seperti dilegalkan? Kenapa harus ada predikat pintar dan bodoh dalam kelas yang hanya akan membuat minder siswa-siswa? Katanya sih untuk memotivasi, namun apakah benar seperti itu? Bisa jadi, mereka yang berada di peringkat akhir (yang sering dianggap bodoh) memiliki salah satu bakat yang sangat mengejutkan, merakit komputer atau merakit pesawat terbang seperti pak Habibie. Katanya orang-orang, nilai itu juga untuk penghargaan atas kerja keras siswa selama pembelajaran. Apakah kita belajar hanya untuk dapat pengakuan baik atau buruk?
Kita dapat membuat sekolah yang pure keinginan para siswa, bukan sebuah paksaan. Sehingga, produk yang lahir pun tidak akan menjadi produk gagal yang hanya berorientasi pada uang, bukan pengabdian. Seseorang yang menyukai dan memiliki bakat dalam bermusik, ya sudah dia harus dan wajib untuk masuk kelas musik. Seseorang yang memiliki bakat menggambar, ya ayo masuk kelas menggambar. Yang bakat hitung-hitungan, sok atuh masuk kelas matematika atau fisika. Kan enak kan? Semua belajar pelajaran yang sesuai dengan potensi mereka. Dan nilai yang diberikan pun sesuai dengan kualitas siswa-siswanya. Siswa yang masuk kelas musik pasti akan mendapat julukan “anak musik”, anak kelas menggambar mendapat julukan “anak gambar/pelukis”, anak kelas fisika mendapat julukan “anak fisika/fisikawan”. Kualitas yang dihasilkan pun tidak hanya sekadar abal-abal dari hasil dongkrakan nilai yang berkedok “remidial test”.
Kalau tidak kita yang memulai merencanakan dan membuat sekolah model begitu, lantas siapa lagi? Masih ngerasa nggak terima dan menganggap saya hanyalah orang yang sok kritis dan cari sensasi? *Think Again*. Cepat atau lambat, kita semua akan merasakannya dan akan lantang menyuarakan “Tolong Aku, Aku dipenjara oleh Sekolah!”
Cari tahulah apa bakat dan minat kita sekarang dan fokuslah ke bidang itu! Semangat kawan-kawan! Nilai, Ijazah, Peringkat, Predikat itu hanyalah embel-embel belaka yang dapat hilang sewaktu-waktu. Namun, kualitas yang sebenarnya akan terus melekat dalam diri orang yang memilikinya.

Salah satu sekolah yang seperti cocok dan pantas adalah model sekolah yang seperti ini: 
Qaryah Thayyibah 1/2
Qaryah Thayyibah 2/2


untuk tulisan inspasi lainnya silakan kunjungi http://inspiring-aoc.blogspot.com/
terimakasih ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar